Oleh Edi Danggur
Jumat Agung adalah perayaan peringatan sengsara Tuhan Yesus. Ada tiga bagian penting dalam perayaan itu: Liturgi Sabda, Penyembahan Salib dan Komuni Kudus.
Hal yang menarik pada Liturgi Sabda adalah pembacaan Kisah Sengsara Tuhan Yesus. Semua dialog dibawakan dengan nyanyian merdu oleh petugas-petugas terlatih.
Setelah Yesus ditangkap, kemudian dihadapkan ke hadapan Hanas. Hanas adalah mertua Kayafas yang menjadi Imam Besar saat itu.
Saat diadili, ada salah satu pernyataan Tuhan Yesus yang menarik: “Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya. Tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?”
Dikatakan menarik karena pernyataan Yesus tersebut menginspirasi hukum positif dan praktik hukum kita saat ini.
Dalam tulisan ini akan diuraikan tiga isu hukum:
- Pertama, esensi adagium siapa mendalilkan wajib membuktikan dalilnya.
- Kedua, larangan melakukan tindakan main hakim sendiri sebagai implementasi adagium tersebut.
- Ketiga, akibat hukum jika melanggar larangan main hakim sendiri.
Siapa Mendalilkan, Wajib Membuktikan Dalilnya
Dalam hukum kita, berlaku sebuah adagium: “Siapa mendalilkan, ia wajib membuktikan dalilnya itu”, dalam Bahasa Latin, Actori incumbit probatio (B.J. Marwoto & H. Witdarmono, 2006:6).
Adagium itu selengkapnya berbunyi, “Beban pembuktian ada pada penggugat, atau pada pihak yang mengajukan dalil secara afirmatif”, dalam Bahasa Latin, Actori incumbit onus probandi (Henry Campbell Black, 1990:34).