Internasional, RMMedia – Pemerintah Amerika Serikat dilaporkan akan segera menerbitkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi dalam beberapa minggu ke depan. Salah satu isi UU tersebut berisi pedoman kredit pajak bagi produsen baterai dan Electric Vehichle (EV).
Undang-Undang ini mencakup alokasi anggaran senilai US$370 miliar sebagai subsidi untuk teknologi energi bersih terbarukan. Namun, Indonesia berpotensi tidak cukup relevan dan akan dikucilkan akibat UU tersebut.
Kekhawatiran tersebut muncul karena Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat serta dominasi perusahaan Cina dalam industri nikel. Hal ini membuat baterai yang mengandung komponen sumber Indonesia dikhawatirkan tidak akan memenuhi syarat kredit pajak Inflation Reduction Rate secara penuh.
BACA JUGA: Erick Thohir Temui FIFA Bawa Cetak Biru Sepak Bola Indonesia, Berharap Tidak Disanksi
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Arsjad Rasjid menyatakan prihatin atas sikap AS melalui paket subsidi Amerika Serikat untuk teknologi hijau tersebut. menurutnya, Indonesia memainkan peran penting dalam kebutuhan pasar AS untuk kendaraan listrik dan baterai.
“Indonesia memilki sepertiga dari dari total cadangan nikel dunia yang menempatkan Indonesia pada posisi pertama. Nikel menjadi bahan yang penting untuk produksi baterai kendaraan listrik,” ujar Arsjad, Selasa (04/04) kemarin.
Dalam industri kendaraan listrik, Ketua KADIN tersebut berharap Amerika dan Uni Eropa bisa menaruh kepercayaan pada negara-negara di ASEAN untuk menjadi mitra bisnis. Menurutnya, langkah tersebut akan memperkuat hubungan ekonomi dan politik ASEAN terhadap global sekaligus memberi manfaat secara ekonomi bagi Indonesia.