“Polda NTT harus membuka secara benderang, alat bukti apa saja yang telah ditemukan selama proses penyelidikan dan mengapa dikatakan tidak cukup bukti,” tambahnya.
Ia menjelaskan, sebelum melaporkan perkara, Herry sudah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan fisik yang dilanjutkan dengan visum dan pengumpulan video serta keterangan saksi yang menyaksikan langsung penganiayaan.
“Dokumen itu saja sudah memenuhi syarat dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP,” ungkapnya
Chikita menegaskan, kekerasan yang dialami oleh Herry jelas merupakan tindak pidana sesuai Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal itu mengatur pidana dua tahun penjara atau denda Rp500 juta bagi pelaku yang menghambat kerja jurnalistik.
“Penghentian kasus Herry memperpanjang daftar impunitas atau melanggengkan impunitas, mencoreng demokrasi dan mencederai kebebasan pers,” katanya.
Sementara menurut Erick Tanjung, penghentian penyelidikan kasus Herry berdampak buruk terhadap kerja-kerja jurnalistik di NTT dan Indonesia.