Oleh: Frans Udin, Mantan Camat Cibal dan Mantan Sekretaris Inspektorat Kab. Manggarai
Pilkada Manggarai 2024 telah mencapai titik di mana tensi politik kian memanas, dan ini bukanlah hal baru. Namun, laporan Marsel Nagus Ahang ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait pernyataan Maksimus Ngkeros, calon bupati nomor urut 1, yang menyebut Hery Nabit sebagai “perusak Manggarai” dalam kampanye di Rampa Sasa, menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai batas antara kampanye negatif dan kampanye hitam. Apakah pernyataan itu memang sebuah fitnah yang pantas dijatuhi sanksi, atau merupakan kritik yang sah terhadap petahana?
Sebagai mantan birokrat yang lama berkecimpung dalam urusan pemerintahan dan politik lokal, saya merasa penting untuk memberikan perspektif terkait apa yang disebut sebagai kampanye negatif dan apa yang melanggar hukum.
Kampanye Negatif yang Sah adalah Kritik Berbasis Fakta
Dalam dunia politik, terutama dalam kampanye, kritik terhadap lawan adalah hal yang tak terhindarkan. Namun, kritik ini haruslah berbasis pada fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Maksimus Ngkeros, dalam pernyataannya, mengkritik kinerja Hery Nabit sebagai bupati, termasuk menyoroti berbagai hal seperti ketidakpatuhan terhadap putusan PTUN terkait non-job ASN dan rendahnya alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik tahun 2025.