Manggarai, RMMedia – Mantan Ketua Yayasan Sukma, RD Edi Menori,Pr merespon pemberitaan sebuah media online yang menuduh lembaga yang pernah dipimpinnya telah melakukan kebohongan dengan SK yang diterbitkannya.
Dalam rilisnya, Edi pertama-tama mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemberitaan media tersebut yang tidak memperlihatkan prinsip jurnalistik dengan menjunjung tinggi cover both side.
“Saya sengat menyesal wartawan media infopertama.com tidak lebih dulu mengklarifikasi keluhan guru komite yang tidak mau namanya disebut kepada pengurus Yapersukma atau pegawai Yapersukma di kantor. Saya yakin bila wartawan mendapat penjelasan dari saya atau pegawai Yapersukma tentu isi beritanya akan lebih arif dan memperlihatkan pemahaman wartawan yang komprehensif tentang tanggungjawab terhadap pendidikan anak bangsa dan sejumlah regulasi di bidang pendidikan, termasuk aturan dana BOS,” ungkap Edi dalam pesannya kepada RMMedia pada Senin, (12/06).
Selain itu, Edi mempersoalkan diksi “tipu-tapu” yang digunakan sebagai judul berita oleh Infopertama.com yang sangat tidak etis dan tidak mencerminkan hasil sebuah produk jurnalistik.
Diksi tersebut menurutnya bisa menggiring pembaca. Pembaca akan memahami bahwa wartawan dan pihak yang ikut mengomentari ‘informasi’ dari guru komite sedang mengekspresikan kebencian dan kemarahannya kepada pihak Yapersukma.
“Saya sebenarnya juga syok membaca judul berita ini. Saya sempat cari di kamus besar bahasa Indonesia kata ‘tipu-tapu’ tetapi saya tidak temukan. Tetapi dalam konteks Manggarai saya kira penggunaan kata ini di ruang publik sungguh sangat tidak etis. Pembaca bisa saja keliru memahaminya bahwa wartawan dan pihak yang ikut mengomentari ‘informasi’ dari guru komite sedang mengekspresikan kebencian dan kemarahannya kepada pihak Yapersukma,” lanjut Edi yang kini menjabat sebagai Pastor Kepala di Paroki Wajur.
Soal SK yang diterbitkan Yapersukma yang dituduh menjadi sumber persoalan dalam pemberitaan tersebut, Edi menjelaskan bahwa hal itu hanya merupakan kepentingan administrasi dan tuntutan dapodik.
Lalu terkait pungutan uang sebesar Rp2000 per siswa, uang tersebut diperuntukkan bagi keperluan administrasi guru, hanya Edi tidak menjelaskan secara detail administrasi yang dimaksud.
Adapun besaran gaji guru sebagaimana yang tertulis dalam SK tersebut ditentukan oleh sekolah, karena sekolah yang paling tahu kemampuannya untuk memberikan honor kepada guru.
“Guru-guru non-PNS di SDK diberi SK oleh Yapersukma hanya untuk kepentingan administrasi, tuntutan dapodik. Pungutan 2000 rupiah ini untuk kepentingan urusan adminstrasi guru dan pegawai di 82 SDK di Manggarai serta pendampingan SDK. Yayasan belum membuat penetapan pungutan biaya pendidikan di SDK-SDK untuk menggaji guru dan pegawai. Karena itu Yapersukma belum bisa menggaji guru di SDK. Biaya gaji yang tertulis pada SK itu ditentukan oleh sekolah, karena sekolah yang paling tahu kemampuannya untuk memberikan honor kepada guru,” lanjut Edi.