Oleh : Domi Darus
Di tengah gemuruh zaman—
ketika segala dihitung, ditakar, diperjualbelikan,
aku menepi pada sunyi yang tak diburu angka.
Kukagumi mereka yang disebut ‘terbelakang’,
padahal justru paling dekat
dengan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir.
Badui di rimba sunyi,
Bali Mula dalam pelukan Tri Hita Karana—
mereka tak goncang oleh berita saham,
tak runtuh oleh tarif dari dunia seberang,
sebab jiwa mereka telah mapan
di antara tiga simpul sakral:
manusia, semesta, dan Sang Wujud.
Sementara aku,
displaced di antara diksi dan realita,
penjaga kata-kata yang lama tercerabut akarnya,
merindukan Congkar-Tanah Likang agu Sapo-
kampung yang kusebut surga dalam kesederhanaan.
Ingin kutukar pena dengan cangkul,
kalimat dengan benih,
tulisan panjang dengan doa pendek yang lirih.
Di pelayaran antara Benoa dan Labuan Bajo,
akan kubuang selembar sirih dan sekepal pinang,
sebagai talqin kecil kepada kapitalisme:
oke one leso salen, one ngalors wae laun…
Dan biarlah nafasku hidup
dalam nafas-Nya yang tak terputus—
menanam diri dalam ladang sunyi,
menuai damai yang tak mengenal inflasi