Manggarai, RMMedia – Kabar mengenai kemungkinan pecahnya pasangan Bupati Herybertus G. L Nabit dan Wakil Bupati Heribertus Ngabut semakin santer terdengar. Pasangan yang dikenal dengan sebutan H2N tersebut tengah diterpa adanya isu keretakan dan ketidakharmonisan. Beberapa sumber yang enggan disebutkan namanya menyampaikan jika besar kemungkinan H2N tidak berada dalam satu paket pada pilkada 2024 mendatang.
“Banyak hal pasangan ini tidak harmonis, kami sebagai tim suksespun sekarang kocar-kacir tidak jelas karena janji-janji manis. Belum lagi buruknya tata birokrasi yang sarat akan kepentingan,” ungkap YN yang mengaku sebagai bagian dari tim sukses kepada radiomanggarai.com.
Ketika ditanya apa alasan yang paling mendasar keduanya tidak akan kembali dalam satu paket pada Pilkada 2024, sumber tersebut mengatakan, “Perubahan aliansi politik atau keputusan untuk tidak melanjutkan kerja sama antara bupati dan wakil bupati dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Komunikasi keduanya juga sangat buruk dan itu sangat jelas terlihat. Kalian sebagai media tentu juga melihat situasi terakhir, serangan dari partai pendukung di ruangan sidang dalam beberapa kali paripurna menandakan keduanya jauh dari harapan masyarakat.”
Terkait hal tersebut radiomanggarai.com meminta komentar dan tanggapan Dr. Marianus Mantovani Tapung, S.Fil.,M.Pd (dosen UNIKA Santu Paulus Ruteng).
BACA JUGA: Masalah Daya Tampung, Panitia Pindahkan Lokasi Festival Kopi Manggarai 2023 ke Pasar Puni Ruteng
“Pecah kongsi dalam politik menjadi sebuah kewajaran, dan bukan suatu keabadian/kekekalan. Pada sisi tilik akademik, pecah kongsi menjadi bagian dari dinamika dan dialektika politik yan g mendewasakan. Pecah kongsi dalam politik menjadi sesuatu yang wajar karena politik melibatkan berbagai kepentingan dan pandangan yang beragam. Partai politik dan koalisi, dan pasangan pemimpin lokal dan nasional, terdiri dari individu dengan latar belakang, tujuan, dan pandangan yang berbeda-beda. Ketika perbedaan tersebut tidak dapat disepakati atau diatasi, pecah kongsi bisa terjadi,” ujar dosen yang juga menjabat sebagai Koordinator Pelaksana Akreditasi (KPA) Kabupaten Manggarai itu.
Lebih lanjut Mantovani menyampaikan sejumlah alasan mengapa potensi pecah kongsi paket tersebut merupakan hal yang wajar.
“Ada beberapa alasan mengapa pecah kongsi pada panggung politik dianggap wajar dari sisi tilik akamik. Pertama, Perbedaan Ideologi. Pasangan calon dan partai politik pendukung kerap kali didasarkan pada ideologi tertentu, seperti konservatif, liberal, progresif, sosialis, atau nasionalis. Jika partai-partai dengan ideologi yang berbeda-beda tergabung dalam satu koalisi, perbedaan pandangan dan kepentingan ideologis dapat menyebabkan ketegangan dan pecah kongsi.”
“Kedua, ambisi dan kepentingan pribadi. Politik juga melibatkan individu dengan ambisi dan kepentingan pribadi. Kadang-kadang, pasangan pemimpin, anggota partai atau pemimpin koalisi dapat memiliki motivasi untuk memperoleh kekuasaan, mendapatkan manfaat pribadi, atau mencapai tujuan mereka sendiri. Jika mereka merasa ambisi mereka tidak terpenuhi atau tidak cocok dengan kepentingan lainnya, mereka mungkin memutuskan untuk keluar dari koalisi atau pasangan.”
“Ketiga, konflik kebijakan. Ketika pasangan pemimpin, partai atau anggota koalisi memiliki pandangan yang bertentangan tentang kebijakan tertentu, perbedaan tersebut dapat memicu pecah kongsi. Meskipun mereka mungkin memiliki tujuan umum yang sama, pendekatan yang berbeda dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dapat menimbulkan ketegangan dan perpecahan.”
“Keempat, dinamika koalisi. Koalisi politik dan pasangan calon sering kali terbentuk untuk mencapai tujuan tertentu atau memperoleh mayoritas dalam pemerintahan. Namun, kestabilan koalisi tidak selalu mudah dipertahankan. Ketika pasangan pemimpin atau partai-partai dalam koalisi memiliki perbedaan pendapat yang signifikan atau ketidakcocokan strategis, pecah kongsi dapat menjadi pilihan untuk mencari alternatif yang lebih sesuai dengan kepentingan mereka.”
“Kelima, respons terhadap perubahan. Politik adalah proses dinamis, dan situasi politik dapat berubah dengan cepat. Ketika terjadi perubahan penting, seperti perubahan kebijakan, kurang sinergi dalam membuat keputusan, skandal politik, pergeseran opini publik, atau perubahan model kepemimpinan dan manajemen, individu dalam pasangan pemimpin atau partai-partai dan anggota koalisi mungkin bereaksi dengan cara yang berbeda-beda. Ini bisa menyebabkan adanya peluang dan potensu ketidaksepakatan yang akhirnya membidani lahirnya pecah kongsi.”